Bio-Based Material: Dari Alam, Dengan Alam, dan Untuk Alam
Pernahkah terbayang bahwa bahan-bahan sisa tak terpakai di sekitarmu ternyata bisa menjadi material bangunan? Pernahkah terbayang berada di suatu karya arsitektur dengan material dari tongkol dan kulit jagung, batok kelapa, hingga kulit pisang?
Sejak krisis energi yang terjadi pada awal 1970-an, masyarakat dunia semakin sadar bahwa mengonsumsi energi dengan tidak bijak memiliki dampak serius. Akibatnya bukan hanya untuk lingkungan sekitar, melainkan secara global. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila sustainability (keberlanjutan) menjadi salah satu isu yang selalu penting untuk dibahas. Terlebih, terkait dengan bangunan, dari perencanaan, perancangan, hingga pembangunan.
Sebenarnya ada banyak jalan yang bisa dilakukan oleh arsitek maupun desainer untuk merancang karya yang berkelanjutan. Diantaranya adalah pemilihan serta pengaplikasian material. Pemilihan material sangat berpengaruh terhadap konsumsi energi bangunan. Selain itu, pengaplikasian yang tepat pun pada akhirnya bisa menghasilkan bangunan yang berkualitas serta ramah lingkungan.
Namun, hal itu juga tidak bisa terlepas dari bahan baku material tersebut. Material dasar ramah lingkungan akan sangat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan keberlangsungan hidup di bumi. Makanya, beragam inovasi teknologi produksi terus dikembangkan agar tetap mampu bersahabat dengan alam. Salah satunya adalah bio-based.
Material bio-based atau berbasis hayati adalah bahan bangunan yang sebagian besar komponen penyusunnya berasal dari alam. Beberapa material seperti rotan, kayu, dan bambu pun termasuk di dalamnya. Lebih dari itu, limbah mereka pun bisa dimanfaatkan kembali untuk bahan-bahan lainnya. Contohnya, mozaik kayu reklamasi dari industri pengolahan kayu, rotan serbuk gergaji kayu, serta anyaman kulit rotan. Kemudian, ada pula bambu hitam – salah satu bambu langka yang hanya tumbuh di beberapa tempat di Pulau Jawa.
Menariknya, beberapa tanaman lainnya pun ternyata bisa diaplikasikan dalam bangunan sebagai bahan berbasis hayati. Dari jerami padi kering, tongkol dan kulit jagung, tanaman penutup tanah Mucuna bracteata, kulit pohon Mulberry, hingga sekam kopi/kulit bagian dalam biji kopi.
Selain tumbuhan yang berada di daratan tersebut, tanaman air, karang, hingga koral pun memungkinkan untuk menjadi bahan dasar dari bio-based material.
Uniknya lagi, ada bahan-bahan yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya bagi sebagian orang, namun bisa menjadi sebuah material baru. Salah satunya adalah kulit pisang yang bisa menjadi alternatif ramah lingkungan untuk bubble wrap. Meskipun awalnya dimaksudkan sebagai kemasan, produk BanaWrap ini akan dikembangkan untuk dapat diterapkan pada obyek interior, hingga fashion.
Banyaknya inovasi material bio-based di atas, hampir seluruhnya dapat kita gunakan dalam bangunan. Lalu, setelah tidak dipakai, kita bisa menjadikannya kompos (mengembalikannya ke alam). Secara umum, bio-based memiliki banyak keunggulan. Diantaranya, tidak beracun, dalam proses pembuatannya tidak memproduksi zat-zat berbahaya bagi lingkungan, dan mudah diperoleh. Terpenting, material ini dapat diperbaharui, serta bisa didaur ulang.
Saat ini, sudah banyak pihak yang mengembangkan material berbasis hayati ini. Bahkan dalam Pameran “Building with Nature” tercatat lebih dari 50 bahan yang sudah dan sedang dikembangkan oleh desainer dari Belanda dan Indonesia. Semoga kedepannya akan semakin banyak kemungkinan untuk membangun dari alam, dengan alam, dan untuk alam. (uci)
Documentation by Fauziah Prabarini.
Leave a Reply
Be the First to Comment!