Citayam Fashion Week dari Perspektif Desain Ruang Publik Jakarta – ARCHINESIA
Widget Image
 

Citayam Fashion Week dari Perspektif Desain Ruang Publik Jakarta

Citayam Fashion Week dari Perspektif Desain Ruang Publik Jakarta

Citayam Fashion Week (CFW), sebuah fenomena yang akhir-akhir ini berhasil mencuri perhatian semua kalangan. Dilihat dari kacamata bidang maupun profesi apapun, CFW merupakan suatu hal yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Tidak terkecuali dari perspektif arsitektur, utamanya terkait desain ruang publik.

Ketika berbicara mengenai ruang publik, maka ini tidak hanya tentang alun-alun atau taman lingkungan. Ruang publik juga dapat berupa tempat yang sering kita gunakan sehari-hari, seperti jalan, trotoar, jembatan, hingga perpustakaan umum.

Hajer dan Reijndrop (2001, p.16) dalam In Search of New Public Domain mengatakan bahwa seringkali kita terjebak pada ruang publik yang tetap dan permanen. Kita jarang mempertimbangkan kemungkinan munculnya area publik di tempat-tempat tertentu dan bersifat sementara. Terlebih, masyarakat sangat memungkinkan untuk menciptakan public space-nya sendiri guna mengekspresikan diri mereka – society creates space, space shapes society. Pada waktu yang bersamaan, ini bisa menjadi ruang bagi masyarakat untuk melihat sesuatu yang baru, belajar, dan mencari hiburan, serta inspirasi. Lebih dari itu, ruang publik juga berperan sebagai area terjadinya interaksi sosial, “arus” transaksi ekonomi, dan transformasi budaya. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan atau dimunculkan di ruang publik. Ranah publik pun dapat dianggap lebih dari sekadar tempat, melainkan juga sebuah pengalaman.

Inilah mengapa public space sangat esensial bagi kualitas hidup suatu kota. Bahkan, sebuah ruang publik yang dirancang, serta berfungsi dengan baik, maka akan menjadi pusat kehidupan dari kota tersebut. Tidak hanya itu, keberadaan ruang ini pun turut menjadi aset penting dan membutuhkan banyak perhatian dari para ahli, serta akademisi.

 

Citayam Fashion Week dan Ruang Publik Jakarta

Sebagai salah satu elemen vital dalam kota, tidak mengherankan apabila pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus gencar untuk memperkenalkan, membangun, dan mengembangkan ruang publik di beberapa wilayah. Mereka sering menyebutkan dengan istilah ruang ketiga/ruang interaksi. Ini adalah area di antara ruang pertama (tempat tinggal) dan ruang kedua (tempat berkegiatan). Bahkan pengembangan ruang publik banyak yang akhirnya terintegrasi dengan moda transportasi dalam rangka pengembangan kawasan berorientasi transit.

Saat ini, ada enam area TOD yang sedang dikembangkan di Jakarta. Diantaranya adalah Dukuh Atas dimana fenomena Citayam Fashion Week terjadi. Area ini menjadi salah satu TOD pertama yang dikembangkan dengan akses transit terbanyak di Jakarta. Lima jenis moda transportasi publik akan bertemu di kawasan ini, yaitu MRT Jakarta, BRT Transjakarta, kereta bandara, kereta commuterline, dan LRT Jabodebek.

Lalu, di mana tepatnya Citayam Fashion Week ini diadakan? Apa hubungannya dengan hal tersebut?

Citayam Fashion Week terjadi di salah satu zebra cross/arena penyeberangan di Jalan Tanjung Karang, Jakarta Pusat. Jalan ini diapit oleh trotoar cukup lebar dengan area duduk di sepanjang jalurnya. Keberadaan sarana duduk ini selain bisa digunakan pejalan kaki untuk beristirahat sejenak, juga menambah nilai tata kota atau kawasan tersebut. Maka dari itu, dalam perancangan jalur pedestrian, persyaratan ini perlu menjadi pertimbangan agar pejalan kaki merasa aman dan nyaman.

Kondisi zebra cross “Citayam Fashion Week” yang berada di antara jalur pedestrian yang lebar.

Sarana duduk (bergaris merah) yang telah dirancang di sepanjang trotoar Jalan Tanjung Karang.

Lapangnya pedestrian ini pula yang digunakan para model Citayam Fashion Week untuk mengantre dan menunggu giliran “catwalk” di “panggung” yang mereka hadirkan sendiri. Ditambah lagi dengan masyarakat yang ingin menyaksikan suasana CFW dari dekat. Sedangkan bagi mereka yang hanya ingin menikmatinya dari kejauhan bisa sembari duduk-duduk di sarana duduk yang telah tersedia. Trotoar Jalan Tanjung Karang pun lebih dari sekadar arus lalu-lalang pejalan kaki.

Berada di titik perpindahan, keberadaan jalur pedestrian ini juga berhubungan langsung dengan plaza penghubung kelima moda transportasi. Luasnya plaza membuat orang-orang tidak akan saling bertabrakan maupun bersinggungan. Bahkan kawasan ini dirancang agar mereka tidak perlu untuk menyeberang apabila akan berpindah moda. Mereka cukup naik/turun tangga atau menggunakan ramp. Uniknya, permainan ketinggian di plaza ini membuat masyarakat yang sekadar lewat atau sembari berpindah jalur transportasi pun tetap bisa menikmati kegiatan yang terjadi di Jalan Tanjung Karang. Bersamaan dengan itu pula, desain ini membuat pedestrian memiliki pengalaman ruang yang berbeda. Ditambah lagi dengan tanaman hijau yang tersebar di beberapa sudut plaza sehingga bisa menaungi ruang terbuka dari terik matahari pada siang atau sore hari.

Pintu masuk/keluar stasiun MRT Dukuh Atas yang terhubung langsung dengan plaza menuju moda transportasi lainnya.

Ketersediaan tangga dan ramp di plaza penghubung antar moda.

Lokasinya yang strategis dan mudah dicapai dengan transportasi umum ini tidak mengherankan apabila menjadi salah satu titik temu baik warga Jakarta maupun non-Jakarta. Diantaranya adalah para anak muda dari Citayam, Depok, dan Bojonggede yang mengaktivasi kegiatan Citayam Fashion Week. Bahkan gerakan ini berhasil mencuri perhatian masyarakat dari berbagai rentang usia, beragam latar belakang, serta kebudayaan untuk sama-sama menikmati ruang publik yang bebas. Bahkan, mereka tidak harus berpartisipasi secara aktif, menjadi penonton pasif pun turut menghidupkan sebuah public space. Pada akhirnya ini bukan hanya tentang bagaimana rancangan ruang publiknya, melainkan juga aktivasi kegiatan.

Namun sayangnya, kegiatan Citayam Fashion Week ini dihentikan oleh petugas gabungan dari kepolisian, Dinas Perhubungan, dan Satpol PP DKI Jakarta sejak Rabu, 27 Juli 2022. Pembubaran dilakukan karena kerumunan massa dinilai mengganggu pengguna jalan dan lalu lintas. Seperti saat munculnya fenomena CFW pertama kali, keputusan ini pun menimbulkan pro-kontra dan lagi-lagi mencuri perhatian berbagai kalangan. Pihak pro tentu mendukung kebijakan yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta. Di sisi lain, ada pula yang menyayangkan keputusan tersebut karena seakan “menutup” ruang untuk mereka berekspresi.

Setiap orang bebas berpendapat dan memiliki pandangan yang berbeda. Namun, akankah kawasan Dukuh Atas akan tetap “hidup” tanpa adanya Citayam Fashion Week? Lalu, area mana lagi yang akan menjadi ruang ekspresi masyarakat dan mengundang lebih banyak orang untuk berkegiatan di dalamnya? (uci)

 

Written by

Leave a Reply

Be the First to Comment!

Notify of
avatar
background color : #CCCC
X