Pedestrian untuk Kota Layak Huni – ARCHINESIA
Widget Image
 

Pedestrian untuk Kota Layak Huni

Pedestrian untuk Kota Layak Huni

Salah satu indikator sebuah kota dikatakan layak huni adalah walkability-nya. Bahkan jalur pedestrian merupakan salah satu elemen paling berpengaruh dalam perencanaan tata ruang kota. Bagaimana jalur pedestrian yang ramah, kesesuaian ukuran dan fungsi, keamanan, serta kemudahan akses menjadi poin penting bagi kota, sekaligus sebagai tanda keberlanjutan.

Pedestrian berasal dari Bahasa Yunani, pedosyang, yang berarti kaki. Sedangkan dalam Bahasa Inggris, pedestrian berarti orang yang berjalan kaki. Jalur pedestrian pertama kali berupa jalan dari batu gamping yang permukaannya ditinggikan terhadap tanah dan di tiap interval tertentu dibuat ramp. Jalur ini juga dikenal sebagai trotoar (dari Bahasa Prancis), yang merupakan jalan kecil selebar 1,5 – 2 meter, memanjang sepanjang jalan-jalan besar atau jalan raya. Selain itu, jalur pedestrian juga bisa diartikan sebagai pergerakan/sirkulasi atau perpindahan orang dari titik asal (origin) ke tempat lain sebagai tujuan (destination) dengan berjalan kaki. Saat ini, jalur pejalan kaki tidak hanya dapat berupa trotoar, tetapi juga pavement, sidewalk, pathway, maupun plaza dan mall. Di sisi lain, ketersediaan prasarana dan sarana untuk pejalan kaki juga harus aman, nyaman, dan manusiawi, termasuk bagi para pedestrian dengan keterbatasan fisik.

Namun sayangnya, kebanyakan jalur pejalan kaki di Indonesia, utamanya kota-kota besar belum memenuhi hal itu. Fungsi trotoar tidak hanya digunakan untuk pejalan kaki, tetapi juga bisa menjadi jalur bagi kegiatan lainnya. Kita bisa melihat para pedagang kaki lima menggelar dagangannya, atau menjadi area tambahan toko yang berjualan di pinggir jalan. Terlebih, trotoar juga sering dilalui oleh kendaraan roda dua saat terjadi kemacetan. Bahkan area trotoar yang sempit pun masih harus ‘berbagi’ dengan area hijau kota.

Banyak hal yang mempengaruhi munculnya fenomena tersebut. Diantaranya adalah masalah kesadaran dan disiplin masyarakat. Selain itu, tidak adanya studi yang memadai sebelum tahap perencanaan kota, faktor peraturan yang belum jelas penerapannya, maupun pemberian sanksi juga menjadi pendorong terjadinya multi-fungsi pada area pedestrian.

Sementara itu, pemerintah melalui Permen PU No. 3 Tahun 2004 Tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan telah memberikan ketentuan-ketentuan terkait area pejalan kaki. Disini pun disebutkan berapa kebutuhan ruang yang diperlukan untuk tiap pejalan kaki hingga ukuran ruas pejalan kaki.

Ukuran-ukuran yag telah ditetapkan tersebut pada akhirnya membuat para pedestrian menjadi merasa aman dan nyaman ketika berjalan kaki. Dan ketika mereka merasakan hal tersebut, maka akan semakin banyak pula orang-orang yang memilih untuk berjalan kaki. Menariknya, bersamaan dengan itu pula muncul area-area pejalan kaki yang lebih lebar, ramah, dan juga aman bagi para pejalan kaki. Kesadaran untuk membangun kota yang mengutamakan manusia, bukan kendaraan bermotor mulai bermunculan. Tidak hanya itu, munculnya pandemi COVID-19 pun membuat masyarakat sadar akan pentingnya untuk lebih banyak berjalan kaki atau berolahraga, serta adanya ruang terbuka publik yang lebih ramah dan aman. (uci)

Written by

Leave a Reply

Be the First to Comment!

Notify of
avatar
background color : #CCCC
X