Keberagaman Arsitektur Indonesia dalam Konferensi ARCH: ID 2022 – ARCHINESIA
Widget Image
 

Keberagaman Arsitektur Indonesia dalam Konferensi ARCH: ID 2022

Keberagaman Arsitektur Indonesia dalam Konferensi ARCH: ID 2022

Presented by Muhammad Ikhsan Hamiru dan Frangky Simanjuntak at ARCH: ID 2022 “Sebentang, Serentang, Segendang”, July 15, 2022

Keberagaman budaya Indonesia sangatlah luas, begitu pula arsitekturalnya. Itulah mengapa di tahun ini ARCH:ID turut membuka Paviliun Indonesia Barat dan Timur untuk mendukung keberagaman ini. Perwakilan arsitek dari kedua paviliun turut diundang untuk berbicara pada konferensi. Tidak hanya sekedar bercerita proyek, mereka juga memberikan insight terkait kekhasan nilai arsitektural di daerahnya masing-masing.

Melalui kisah perjalanan Muhammad Ikhsan (Makassar) dan Frangky Simanjuntak (Medan), kita bisa melihat bahwa proses membangun tidaklah selalu mudah. Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah yang jauh dari ibukota serta memiliki akses yang sulit. Salah satunya Pulau Selayar. Pulau kecil yang berada di sisi selatan provinsi Sulawesi Selatan ini dapat diakses melalui perjalanan laut dengan menyeberang dari wilayah Bulukumba. Pulau ini memiliki berbagai potensi keindahan alam yang dapat dijadikan objek pariwisata. Oleh karenanya, Ikhsan membangun DIERRA project dalam usaha membantu optimalisasi pariwisata lokal.

 

 

DIERRA project sendiri merupakan sebuah proyek bangunan café & resto. Di tengah keterbatasan, Ikhsan mencoba menggunakan material lokal, seperti kayu kanaha dan bata terracotta, dalam desainnya. Tidak hanya dari sisi material, Ikhsan juga menggunakan metode lokal dalam membangun. Semua sistem pengecoran, pemasangan balok, papan, bata, dan batako dilakukan secara manual tanpa penggunaan alat berat. Meskipun begitu, bangunan tetap dapat terbangun dengan baik dan dapat dibanggakan.

Selanjutnya, Frangky turut menceritakan perjalanannya membangun di beberapa daerah pedesaan Sumatera Utara. Cerita perjalanan diawali dari kunjungan ke daerah Pakpak Bharat dalam rangka riset dan rekonstruksi rumah adat yang sudah punah. Material yang dipakai berasal dari kayu pohon yang sudah tumbang serta pohon-pohon di sekitarnya. Berkoordinasi dengan lembaga adat setempat, rumah adat dibangun dengan gotong royong dan penuh ritual.

 

 

Pembelajaran ini dibawa oleh Frangky untuk diaplikasikan pada proyek-proyek pedesaan selanjutnya. Salah satunya adalah desa Buluh Awar di mana di sana berdiri sebuah gereja peninggalan Belanda yang sudah ditetapkan sebagai heritage. Frangky mengajukan pembangunan desa sebagai desa wisata. Salah satu potensi alam yang terdapat di sana adalah pertumbuhan hutan bambu yang cukup pesat. Namun, hal ini justru dianggap hama oleh penduduk setempat bahkan pembakaran pohon bambu sering dilakukan untuk pembukaan lahan. Padahal nama “Buluh Awar” sendiri berarti bambu yang diberi lubang pada ruasnya untuk mengalirkan air. Inilah yang perlu diedukasi terlebih dahulu kepada warga, yaitu pemanfaatan bambu.

Dengan mengundang beberapa pengrajin bambu dari Jawa, warga diajarkan mengenai pemanfaatan bambu untuk handicraft maupun konstruksi bangunan. Selanjutnya, proses desain bangunan fasilitas penunjang wisata dilakukan oleh Frangky dan timnya. Frangky mengajukan pembangunan dilakukan oleh warga sendiri dengan terlebih dahulu diajarkan oleh para tukang profesional. Harapannya dapat terjadi transfer knowledge sehingga ke depannya warga bisa mandiri saat dibutuhkan maintenance. (ime)

 

Written by

Leave a Reply

Be the First to Comment!

Notify of
avatar
background color : #CCCC
X